Kamis, 20 April 2023

Sang Penghormat Ufuk

Penasagala

Bihulo 30 Ramdhan 1444 H


Senja mulai pudar, cahaya mentari perlahan sirna dari setengah bagian mayapada. Kicau burung tak lagi terdengar berganti suara jangkrik bersahutan, seiring kegelapan menyelimuti keheningan desa.

Desa yang terletak di antara bukit-bukit hijau menjulang. Tak ada listrik dan fasilitas modern lainnya. Hanya ada kehidupan yang sederhana dan tradisional, mengikuti irama alam.

Penduduknya bercocok tanam dan berternak dengan penuh sahaja. Namun, syukur atas karunia Tuhan dan doa penuh harapan, senantiasa terdengar lembut dari rumah-rumah, mereka hidup rukun, tolong menolong, dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat.

Sedikit ke arah timur desa, berdiri sebuah masjid tua, sederhana namun kokoh, selalu menjadi tempat berkumpul, sujud dan dzikir bersama, mengalunkan ayat suci dengan syahdu. Tempat mereka merayakan hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, juga tempat mereka bermusyawarah bergotong royong untuk urusan bersama.

Sebelah utara di pinggir hutan lebat, mengalir sebuah sungai jernih dan segar, salah satu sumber kehidupan bagi penduduk desa, tempat mandi, mencuci, dan bermain, juga menangkap ikan. Tempat mereka menikmati indahnya alam yang memanjakan mata.

Di seberang sungai itu, lestari sebuah hutan lebat nan rimbun, menjadi tempat mengambil kayu bakar dan berburu.

Serba sederhana namun damai dan indah. Desa yang menjadi saksi atas kehidupan sederhana, namun bahagia.

Di tengah kesunyian yang makin sendu, beberapa cercah cahaya pelita dari rumah-rumah panggung, menyala satu per satu, meski tak mampu mengalahkan pekatnya kegelapan, namun setidaknya ia menjadi sedikit penerang bagi sang penghuni rumah.

Tak lama kemudian suara azan berkumadang, suaranya asli, iramanya unik, lalu dzikir dan ayat suci pun terdengar, mengalun merdu dari masjid tua dan setiap titik-titik cahaya kecil di kejauhan.

Aku masih ingat betul saat itu, usiaku mungkin sekitar lima tahun, tinggal bersama kakek dan nenek di desa kecil itu. Desa pelosok, yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Hanya mengandalkan pelita dari lampu minyak sebagai penerang, dan radio transistor untuk menghibur malam kami, damai dan harmonis.

Aku Kagum pada Kakekku. Seorang petani yang jujur dan bersahaja, penyayom yang bijaksana dan adil, muslim yang taat dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW.

Suatu hari, di akhir bulan Sya'ban, beliau mengajakku keluar rumah setelah shalat maghrib. Aku penasaran apa yang akan kami lakukan.

Aku dibawa ke sebuah tanah lapang di tengah kampung. Di sana sudah berkumpul beberapa orang lainnya, yang juga membawa anak-anak atau cucu-cucunya.

Kakekku menunjuk ke arah ufuk barat, tempat matahari terbenam.
"Lihatlah, nak," katanya dengan suara lembut.
"Itu adalah ufuk. Tempat di mana langit dan bumi bertemu. Tempat di mana kita bisa melihat hilal." ujarnya sambil menunjuk ke arah Barat.
"Hilal? Apa itu hilal, Kek?" tanyaku polos.
"Hilal adalah bulan sabit yang muncul setelah matahari terbenam. Bulan sabit itu menandakan awal bulan baru dalam kalender Islam. Jika kita bisa melihat hilal di akhir bulan Sya'ban, berarti besok kita mulai berpuasa." jelasnya dengan raut wajah agak serius.
"Berpuasa? Apa itu berpuasa, Kek?" tanyaku lagi.
"Berpuasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari subuh hingga maghrib selama sebulan penuh. Bulan itu disebut Ramadhan. Bulan yang penuh berkah dan ampunan. Bulan di mana kita harus lebih banyak beribadah, bersedekah, dan berbuat baik kepada sesama." terangnya.
"Mengapa kita harus berpuasa, Kek?" tanyaku lagi.
"Kita berpuasa karena Allah memerintahkan kita untuk melakukannya. Kita berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk membersihkan jiwa dan hati kita dari dosa-dosa, untuk merasakan lapar dan hausnya orang-orang tak mampu, untuk meningkatkan ketaqwaan dan kesabaran kita."
jawabnya detail.

Aku mengangguk-angguk, mencoba memahami apa yang dikatakannya. Aku merasa bangga, bahwa aku akan segera berpuasa seperti orang dewasa.

Kakekku kemudian mengangkat tangannya ke arah ufuk barat, seperti orang sedang hormat, atau kadang kala tangannya membentuk lingkaran kemudian diletakkan di salah satu matanya, sambil memicingkan yang lain, dan memandang dengan seksama ke arah ufuk barat. Aku pun menirunya dengan canggung.
"Apa yang sedang Kakek lakukan?" tanyaku.

"Kita sedang mencari hilal, nak," jawabnya.

"Kita harus melihatnya dengan jelas dan pasti secara langsung, sebelum mulai puasa esok hari. Atau paling tidak, salah satu dari kita melihatnya dengan yakin, tidak boleh dengan perkiraan atau dugaan." lanjutnya.
"Mengapa begitu, Kek?" tanyaku lagi.

"Karena itu adalah sunnah Nabi Muhammad SAW, nak," jawabnya.
"Beliau bersabda: 'Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal (bulan baru), dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihat hilal (bulan baru). Jika langit mendung (berawan) maka hitunglah (genapkan) bulannya menjadi tiga puluh hari.' (HR. Bukhari dan Muslim)." lanjutnya dengan mengutip hadist.

"Jadi kita harus mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW?" tanyaku.
"Iya, nak," jawabnya.
"Kita harus mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, karena beliau adalah contoh terbaik bagi kita. Beliau adalah orang yang paling tahu tentang agama kita. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan Allah. Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Allah."
Aku kagum dengan kakekku. Aku merasa beruntung memiliki kakek yang begitu taat dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kami terus memandang ke arah ufuk barat, menunggu hilal muncul.

Aku merasakan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan wajahku. Sesekali terdengar suara burung malam dari sudut keremangan malam.

Aku melihat langit berubah warna dari biru ke merah ke ungu.
Tiba-tiba, kakekku berseru.
"Aahh! Besok kita puasa!" katanya dengan gembira.
Aku cepat-cepat melihat ke arah yang ditunjuknya. Dan benar saja, di sana ada bulan sabit yang tipis dan putih, seperti senyum di wajah kakekku.
"Subhanallah! Allahu Akbar!" serunya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Subhanallah! Allahu Akbar!" seruku menirunya, diiringi orang-orang di sekitar kami.

Mereka saling berpelukan dan berjabat tangan, mengucapkan selamat datang Ramadhan, kepada satu sama lain.

Kakekku merangkulku, terasa suasana syukur dan gembira, hangat dan bahagia. Inilah kali pertama aku betul-betul menyadari dan merasakan ajaib dan berkahnya bulan mulia ini. Bulan Ramadhan.

Itulah kenangan sang penghormat ufuk. Kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Kenangan yang mengajarkanku tentang makna kesederhanaan dan kebersahajaan. Kenangan yang menginspirasiku untuk berusaha setia pada manusia agung, Muhammad SAW.

Saat ini aku sudah di perantauan. Suasananya sudah jauh berbeda, fasilitas dunia modern sudah tersedia dengan lengkap.

Alat canggih dan modern untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, sudah berkembang pesat.

Tapi kenangan itu tetap membekas takkan terlupakan, kenangan Sang Penghormat Ufuk, kakekku sendiri.


Sampai saat ini, terkadang aku masih tetap mencoba untuk melihat hilal di akhir akhir Sya'ban dan Syawal, meski itu hanya upaya kecil mengais kenangan, sebab kini dunia sudah berbeda.

Namun yang pasti, tetap menjalankan puasa dengan ikhlas, berusaha meraih predikat taqwa, berproses menjadi orang yang lebih baik, dan bermanfaat bagi sesama. Seperti pesan kakekku, “Orang kaya itu, adalah mereka yang banyak syukur, dan banyak berbagi kebahagiaan dengan siapa pun”

Karena aku tahu, bahwa itu adalah cara terbaik untuk menghormati kakekku, Nabi Muhammad SAW, dan Allah SWT.

Selasa, 18 April 2023

Gonjang-Ganjing Penetapan Hari Raya Idul Fitri 1444 H

 Amiruddin, S.Pd

Anggota PC. GP ANSOR TORAJA RAYA


Illustrasi

Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Hari yang sering diasosiasikan sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan.

Namun, setiap tahunnya, selalu ada perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya hari raya Idul Fitri jatuh. Hal ini menimbulkan gonjang ganjing di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia yang memiliki beragam ormas Islam dan pemerintah yang berwenang menetapkan awal bulan Syawal.

Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta berbagai kriteria dan standar yang berbeda.

Salah satu ormas besar Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah, telah menetapkan Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada tanggal 21 April 2023, berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal.

Metode ini menitikberatkan pada posisi geometris benda langit seperti Bumi, Matahari, dan Bulan.

Menurut Muhammadiyah, penentuan awal bulan Qamariah tidak perlu berdasarkan penampakan hilal, melainkan cukup dengan adanya kemungkinan wujudnya hilal.

Sementara itu, ormas Islam lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), serta pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag), masih menunggu hasil sidang isbat yang akan diselenggarakan pada 20 April 2023.

Sidang isbat adalah rapat atau musyawarah yang dihadiri oleh para ulama, ahli astronomi, dan perwakilan ormas Islam untuk menetapkan awal bulan Syawal berdasarkan hasil hisab dan rukyat. Hisab yang digunakan adalah hisab imkanur rukyat, yaitu perhitungan kemungkinan terlihatnya hilal di suatu tempat.

Rukyat yang dilakukan adalah rukyatul hilal global, yaitu pengamatan hilal di seluruh wilayah Indonesia dan negara-negara tetangga.

Perbedaan metode hisab dan rukyat ini seringkali menimbulkan perbedaan waktu pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia.

Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menganggap bahwa perbedaan ini adalah hal biasa dan tidak mengganggu persatuan umat Islam. Ada juga yang menganggap bahwa perbedaan ini adalah hal buruk dan harus dihindari demi keseragaman umat Islam.

Menurut saya, perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri ini tidak perlu dipermasalahkan terlalu jauh. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga sikap saling menghormati dan menghargai antara sesama umat Islam.

Kita harus mengakui bahwa tidak ada metode yang sempurna dan tidak ada otoritas tunggal yang bisa menetapkan awal bulan Syawal secara mutlak. Kita harus menghargai keberagaman pendapat dan pandangan dalam Islam, selama tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama.

Kita juga harus menyadari bahwa Hari Raya Idul Fitri bukanlah sekadar hari libur atau hari bersuka ria. Akan tetapi, Hari Raya Idul Fitri adalah hari untuk merayakan ketaqwaan kita kepada Allah SWT setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan.

Hari Raya Idul Fitri adalah hari untuk memohon ampun kepada Allah SWT dan sesama manusia atas segala kesalahan dan dosa yang kita perbuat. Hari Raya Idul Fitri adalah hari untuk merangkai silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah antara sesama umat Islam.

Oleh karena itu, kita tidak boleh membiarkan perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri menjadi sumber perpecahan dan pertengkaran. Bahkan sebaliknya, hendaknya momentum ini kita jadikan sebagai sarana untuk saling belajar dan mengenal lebih dalam tentang Islam dan motivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah, akhlak, dan kedewasaan kita.

Idul Fitri adalah Hari Suka Cita, bukan Hari Menegakkan Egoisme.

Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu hari raya terbesar bagi umat Islam di seluruh dunia. Hari ini adalah hari yang penuh dengan suka cita, syukur, dan maaf.

Hari yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, dan kasih sayang. Namun, sayangnya, tidak semua orang bisa merasakan hal indah tersebut. Ada sebagian orang yang justru menjadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai ajang untuk menegakkan egoisme dan kesombongan.

Salah satu contoh egoisme dan kesombongan yang sering terjadi di Hari Raya Idul Fitri terdapat pada perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya hari raya Idul Fitri jatuh.

Seperti kita ketahui, di Indonesia ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan Syawal, yaitu hisab dan rukyat.

Kedua metode ini seringkali menghasilkan perbedaan penetapan waktu Hari Raya Idul Fitri di Indonesia.

Hal ini menimbulkan perdebatan di antara umat Islam. Ada yang merasa paling benar dan paling taat dengan metode yang mereka ikuti.

Ada yang merasa paling superior dan paling mulia dengan metode yang mereka anut, merasa paling berhak dan paling berkuasa dengan metode yang mereka gunakan.

Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa tidak ada metode yang sempurna dan tidak ada otoritas tunggal yang bisa menetapkan awal bulan Syawal secara mutlak. Kita harus menghormati keberagaman pendapat dan pandangan dalam Islam, selama tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama.

Kita mestinya menghargai keputusan masing-masing kelompok untuk mengikuti metode yang mereka yakini dan mengedepankan sikap toleransi serta saling menghormati antara sesama umat Islam.

Perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri bukanlah hal yang harus dipermasalahkan terlalu jauh. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya, bagaimana kita memohon ampun kepada Allah SWT dan sesama manusia atas segala khilaf yang kita perbuat, bagaimana kita meningkatkan silaturahmi dan ukhuwah.

Hari Raya Idul Fitri adalah hari suka cita, bukan hari menegakkan egoisme. 

Hari Raya Idul Fitri adalah hari syukur, bukan hari kesombongan. Hari Raya Idul Fitri adalah hari maaf, bukan hari dendam. Hendaknya kita jadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari yang membawa kebaikan dan keberkahan bagi kita semua, sebagai hari yang menyatukan dan mempersatukan, sebagai hari yang mencerminkan akhlak mulia Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW adalah teladan terbaik. Beliau adalah orang yang paling taat kepada Allah SWT, paling kasih sayang kepada sesama makhluk, dan paling rendah hati di antara manusia, paling menjaga persaudaraan dan perdamaian, orang yang paling menghormati perbedaan dan keberagaman di antara umat manusia.

Kita mestinya meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri ini, mestinya memperbanyak bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, memaafkan dan memohon maaf kepada sesama manusia atas segala khilaf dan salah, berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang membutuhkan dan kurang beruntung, bersuka cita dan bersahabat dengan semua orang tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, atau golongan.

Dengan demikian, kita akan merasakan makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri, merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang hakiki, merasakan kebersamaan dan keharmonisan yang nyata, dan mencapai ketaqwaan yang kokoh.

Metode Rukyatul Hilal atau Metode Hisab, mana yang paling mendekati Hadist Sahih dari Rasulullah SAW.?

Sebagaimana diketahui bersama bahwa untuk menentukan awal bulan Syawal, ada beberapa metode yang digunakan oleh umat Islam, yaitu metode rukyatul hilal dan metode hisab.

Metode rukyatul hilal adalah metode yang mengandalkan pengamatan langsung bulan sabit atau hilal di ufuk barat setelah matahari terbenam.

Metode hisab adalah metode yang mengandalkan perhitungan matematis posisi bulan berdasarkan data astronomis.

Kedua metode ini seringkali berakibat pada perbedaan waktu pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri di berbagai negara dan wilayah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mana metode yang paling mendekati hadist sahih dari Rasulullah SAW.?

Hadist sahih adalah perkataan atau perbuatan Rasulillah SAW. yang telah dipastikan kebenaran dan keasliannya oleh para ulama hadist.

Dalam hal ini, kita harus kembali kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadist.

Al-Quran adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Rasulillah SAW. melalui malaikat Jibril.

Hadist adalah segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulillah SAW, yang menjadi contoh dan pedoman bagi umat Islam.

Dalam Al-Quran, Allah SWT. berfirman:

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." Tetapi tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kekuasaan Allah) dan peringatan-peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS. Yunus: 101)

"Dan Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)

Dari ayat-ayat di atas, kita dapat memahami bahwa Allah SWT. telah menciptakan matahari dan bulan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya dan sebagai alat untuk menghitung waktu. Allah SWT, juga telah menetapkan manzilah-manzilah atau fase-fase bagi perjalanan bulan itu, termasuk hilal atau bulan sabit. Dalam Hadist, Rasulullah SAW, bersabda:

"Berpuasalah kamu apabila melihatnya (hilal) dan berbukalah apabila melihatnya (hilal), jika ia tertutup (berawan) maka sempurnakanlah bilangan (hari) Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari dan Muslim) "Janganlah kamu berpuasa sebelum datangnya bulan (Ramadan) dan janganlah kamu berbuka sebelum hilangnya bulan (Syawal), jika terhalang awannya maka hitunglah tiga puluh hari." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadist di atas, kita dapat memahami bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal berdasarkan rukyatul hilal atau pengamatan langsung bulan sabit.

Jika hilal tidak terlihat karena cuaca berawan atau faktor lainnya, maka Rasulullah SAW. menetapkan untuk menghitung tiga puluh hari dari bulan sebelumnya.

Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, kita dapat menyimpulkan bahwa metode rukyatul hilal adalah metode yang paling mendekati hadist sahih dari Rasulullah SAW.

Metode ini sesuai dengan perintah Allah SWT. untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan di bumi sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya. Metode ini juga sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW yang menetapkan awal bulan berdasarkan penglihatan mata.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa metode hisab tidak memiliki dasar sama sekali. Metode hisab juga didasarkan pada data astronomis yang merupakan hasil dari pengamatan dan perhitungan ilmiah terhadap benda-benda langit.

Metode hisab juga mencerminkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh umat Islam, juga dapat membantu dalam mengatasi kesulitan atau ketidakpastian dalam melakukan rukyatul hilal.

Oleh karena itu, kita tidak boleh menolak atau menghina metode hisab secara mutlak. Bahkan kita mestinya mengakui bahwa metode hisab juga memiliki kelebihannya sendiri, menghargai usaha dan niat baik dari para ahli hisab yang berusaha untuk menentukan awal bulan Syawal dengan cara yang mereka yakini.

Kita tidak boleh memaksakan atau membanggakan metode rukyatul hilal secara mutlak, dan mestinya menyadari bahwa metode rukyatul hilal juga memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.

Kita harus menghormati kesaksian dan keshahihan dari para ahli rukyat yang berusaha untuk menentukan awal bulan Syawal dengan cara yang mereka yakini.

Kita harus menjaga sikap saling menghormati dan menghargai antara sesama umat Islam yang menggunakan metode rukyatul hilal atau metode hisab, menjaga persatuan dan persaudaraan di antara umat Islam yang merayakan Hari Raya Idul Fitri pada hari yang berbeda, menjaga toleransi dan saling menghormati di antara umat Islam yang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda.

Semoga Allah SWT menurunkan rahmat dan hidayah-Nya, dan menerima amal ibadah kita, serta memberikan kita kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang, juga menjadikan kita termasuk orang-orang yang berbahagia di Hari Raya Idul Fitri ini.

Kesimpulan

Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa yang menaati pemimpin (pemerintah), maka ia telah menaati saya. Dan barangsiapa yang mendurhakai pemimpin (pemerintah), maka ia telah mendurhakai saya (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1840).

 

Hadits ini menegaskan bahwa umat Islam harus taat kepada pemimpin atau pemerintah yang sah, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ketaatan kepada pemimpin atau pemerintah merupakan bagian dari ketaatan kepada Rasulullah SAW.

 

Wallahu A’lam Bisshowwab..

KALENDER AKADEMIK MTsN 1 TANA TORAJA 2025-2026

Kalender Akademik MTsN 1 Tana Toraja 2025/2026 Kalender...