Penasagala
Bihulo 30 Ramdhan 1444 H
Senja mulai pudar, cahaya mentari perlahan sirna dari
setengah bagian mayapada. Kicau burung tak lagi terdengar berganti suara
jangkrik bersahutan, seiring kegelapan menyelimuti keheningan desa.
Desa yang terletak di antara bukit-bukit hijau menjulang.
Tak ada listrik dan fasilitas modern lainnya. Hanya ada kehidupan yang
sederhana dan tradisional, mengikuti irama alam.
Penduduknya bercocok tanam dan berternak dengan penuh sahaja.
Namun, syukur atas karunia Tuhan dan doa penuh harapan, senantiasa terdengar
lembut dari rumah-rumah, mereka hidup rukun, tolong menolong, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai adat.
Sedikit ke arah timur desa, berdiri sebuah masjid tua, sederhana
namun kokoh, selalu menjadi tempat berkumpul, sujud dan dzikir bersama,
mengalunkan ayat suci dengan syahdu. Tempat mereka merayakan hari-hari besar
Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, juga tempat mereka bermusyawarah
bergotong royong untuk urusan bersama.
Sebelah utara di pinggir hutan lebat, mengalir sebuah sungai
jernih dan segar, salah satu sumber kehidupan bagi penduduk desa, tempat mandi,
mencuci, dan bermain, juga menangkap ikan. Tempat mereka menikmati indahnya
alam yang memanjakan mata.
Di seberang sungai itu, lestari sebuah hutan lebat nan rimbun,
menjadi tempat mengambil kayu bakar dan berburu.
Serba sederhana namun damai dan indah. Desa yang menjadi
saksi atas kehidupan sederhana, namun bahagia.
Di tengah kesunyian yang makin sendu, beberapa cercah cahaya
pelita dari rumah-rumah panggung, menyala satu per satu, meski tak mampu
mengalahkan pekatnya kegelapan, namun setidaknya ia menjadi sedikit penerang
bagi sang penghuni rumah.
Tak lama kemudian suara azan berkumadang, suaranya asli, iramanya
unik, lalu dzikir dan ayat suci pun terdengar, mengalun merdu dari masjid tua
dan setiap titik-titik cahaya kecil di kejauhan.
Aku masih ingat betul saat itu, usiaku mungkin sekitar lima tahun, tinggal
bersama kakek dan nenek di desa kecil itu. Desa pelosok, yang jauh dari hiruk
pikuk kota.
Hanya mengandalkan pelita dari lampu minyak sebagai penerang,
dan radio transistor untuk menghibur malam kami, damai dan harmonis.
Aku Kagum pada Kakekku. Seorang petani yang jujur dan
bersahaja, penyayom yang bijaksana dan adil, muslim yang taat dan cinta kepada
Nabi Muhammad SAW.
Suatu hari, di akhir bulan Sya'ban, beliau mengajakku keluar
rumah setelah shalat maghrib. Aku penasaran apa yang akan kami lakukan.
Aku dibawa ke sebuah tanah lapang di tengah kampung. Di sana
sudah berkumpul beberapa orang lainnya, yang juga membawa anak-anak atau
cucu-cucunya.
Kakekku menunjuk ke arah ufuk barat, tempat matahari
terbenam.
"Lihatlah, nak," katanya dengan suara lembut.
"Itu adalah ufuk. Tempat di mana langit dan bumi
bertemu. Tempat di mana kita bisa melihat hilal." ujarnya sambil menunjuk
ke arah Barat.
"Hilal? Apa itu hilal, Kek?" tanyaku polos.
"Hilal adalah bulan sabit yang muncul setelah matahari
terbenam. Bulan sabit itu menandakan awal bulan baru dalam kalender Islam. Jika
kita bisa melihat hilal di akhir bulan Sya'ban, berarti besok kita mulai
berpuasa." jelasnya dengan raut wajah agak serius.
"Berpuasa? Apa itu berpuasa, Kek?" tanyaku lagi.
"Berpuasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan
hal-hal yang membatalkan puasa dari subuh hingga maghrib selama sebulan penuh.
Bulan itu disebut Ramadhan. Bulan yang penuh berkah dan ampunan. Bulan di mana
kita harus lebih banyak beribadah, bersedekah, dan berbuat baik kepada
sesama." terangnya.
"Mengapa kita harus berpuasa, Kek?" tanyaku lagi.
"Kita berpuasa karena Allah memerintahkan kita untuk
melakukannya. Kita berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk
membersihkan jiwa dan hati kita dari dosa-dosa, untuk merasakan lapar dan
hausnya orang-orang tak mampu, untuk meningkatkan ketaqwaan dan kesabaran
kita."
jawabnya detail.
Aku mengangguk-angguk, mencoba memahami apa yang dikatakannya.
Aku merasa bangga, bahwa aku akan segera berpuasa seperti orang dewasa.
Kakekku kemudian mengangkat tangannya ke arah ufuk barat,
seperti orang sedang hormat, atau kadang kala tangannya membentuk lingkaran
kemudian diletakkan di salah satu matanya, sambil memicingkan yang lain, dan memandang dengan seksama ke arah ufuk barat. Aku pun menirunya dengan
canggung.
"Apa yang sedang Kakek lakukan?" tanyaku.
"Kita sedang mencari hilal, nak," jawabnya.
"Kita harus melihatnya dengan jelas dan pasti secara langsung,
sebelum mulai puasa esok hari. Atau paling tidak, salah satu dari kita melihatnya
dengan yakin, tidak boleh dengan perkiraan atau dugaan." lanjutnya.
"Mengapa begitu, Kek?" tanyaku lagi.
"Karena itu adalah sunnah Nabi Muhammad SAW, nak,"
jawabnya.
"Beliau bersabda: 'Janganlah kamu berpuasa sampai kamu
melihat hilal (bulan baru), dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihat
hilal (bulan baru). Jika langit mendung (berawan) maka hitunglah (genapkan)
bulannya menjadi tiga puluh hari.' (HR. Bukhari dan Muslim)." lanjutnya
dengan mengutip hadist.
"Jadi kita harus mengikuti apa yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW?" tanyaku.
"Iya, nak," jawabnya.
"Kita harus mengikuti apa yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW, karena beliau adalah contoh terbaik bagi kita. Beliau adalah orang yang
paling tahu tentang agama kita. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan
Allah. Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Allah."
Aku kagum dengan kakekku. Aku merasa beruntung memiliki
kakek yang begitu taat dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Kami terus memandang
ke arah ufuk barat, menunggu hilal muncul.
Aku merasakan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan wajahku. Sesekali
terdengar suara burung malam dari sudut keremangan malam.
Aku melihat langit berubah warna dari biru ke merah ke
ungu.
Tiba-tiba, kakekku berseru.
"Aahh! Besok kita puasa!" katanya dengan gembira.
Aku cepat-cepat melihat ke arah yang ditunjuknya. Dan benar
saja, di sana ada bulan sabit yang tipis dan putih, seperti senyum di wajah
kakekku.
"Subhanallah! Allahu Akbar!" serunya sambil mengangkat kedua
tangannya.
"Subhanallah! Allahu Akbar!" seruku menirunya,
diiringi orang-orang di sekitar kami.
Mereka saling berpelukan dan berjabat tangan, mengucapkan
selamat datang Ramadhan, kepada satu sama lain.
Kakekku merangkulku, terasa suasana syukur dan gembira,
hangat dan bahagia. Inilah kali pertama aku betul-betul menyadari dan merasakan
ajaib dan berkahnya bulan mulia ini. Bulan Ramadhan.
Itulah kenangan sang penghormat ufuk. Kenangan yang tak akan
pernah kulupakan. Kenangan yang mengajarkanku tentang makna kesederhanaan dan
kebersahajaan. Kenangan yang menginspirasiku untuk berusaha setia pada manusia agung,
Muhammad SAW.
Saat ini aku sudah di perantauan. Suasananya sudah jauh
berbeda, fasilitas dunia modern sudah tersedia dengan lengkap.
Alat canggih dan modern untuk menentukan awal Ramadhan dan
Idul Fitri, sudah berkembang pesat.
Tapi kenangan itu tetap membekas takkan terlupakan, kenangan
Sang Penghormat Ufuk, kakekku sendiri.
Sampai saat ini, terkadang aku masih tetap mencoba untuk
melihat hilal di akhir akhir Sya'ban dan Syawal, meski itu hanya upaya kecil
mengais kenangan, sebab kini dunia sudah berbeda.
Namun yang pasti, tetap menjalankan puasa dengan ikhlas,
berusaha meraih predikat taqwa, berproses menjadi orang yang lebih baik, dan
bermanfaat bagi sesama. Seperti pesan kakekku, “Orang kaya itu, adalah
mereka yang banyak syukur, dan banyak berbagi kebahagiaan dengan siapa pun”
Karena aku tahu, bahwa itu adalah cara terbaik untuk
menghormati kakekku, Nabi Muhammad SAW, dan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar