Amiruddin, S.Pd
Anggota PC. GP ANSOR TORAJA RAYA
 |
Illustrasi |
Hari
Raya Idul Fitri merupakan momen yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh
dunia. Hari yang sering diasosiasikan sebagai hari kemenangan setelah sebulan
penuh berpuasa di bulan Ramadhan.
Namun,
setiap tahunnya, selalu ada perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya hari
raya Idul Fitri jatuh. Hal ini menimbulkan gonjang ganjing di kalangan
masyarakat, terutama di Indonesia yang memiliki beragam ormas Islam dan
pemerintah yang berwenang menetapkan awal bulan Syawal.
Kedua
metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta berbagai
kriteria dan standar yang berbeda.
Salah
satu ormas besar Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah, telah menetapkan Hari
Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada tanggal 21 April 2023, berdasarkan metode hisab
hakiki wujudul hilal.
Metode
ini menitikberatkan pada posisi geometris benda langit seperti Bumi,
Matahari, dan Bulan.
Menurut
Muhammadiyah, penentuan awal bulan Qamariah tidak perlu berdasarkan penampakan
hilal, melainkan cukup dengan adanya kemungkinan wujudnya hilal.
Sementara
itu, ormas Islam lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), serta pemerintah melalui
Kementerian Agama (Kemenag), masih menunggu hasil sidang isbat yang akan
diselenggarakan pada 20 April 2023.
Sidang
isbat adalah rapat atau musyawarah yang dihadiri oleh para ulama, ahli
astronomi, dan perwakilan ormas Islam untuk menetapkan awal bulan Syawal
berdasarkan hasil hisab dan rukyat. Hisab yang digunakan adalah hisab imkanur
rukyat, yaitu perhitungan kemungkinan terlihatnya hilal di suatu tempat.
Rukyat
yang dilakukan adalah rukyatul hilal global, yaitu pengamatan hilal di seluruh
wilayah Indonesia dan negara-negara tetangga.
Perbedaan
metode hisab dan rukyat ini seringkali menimbulkan perbedaan waktu pelaksanaan Hari
Raya Idul Fitri di Indonesia.
Hal
ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang
menganggap bahwa perbedaan ini adalah hal biasa dan tidak mengganggu persatuan
umat Islam. Ada juga yang menganggap bahwa perbedaan ini adalah hal buruk dan
harus dihindari demi keseragaman umat Islam.
Menurut
saya, perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri ini tidak perlu dipermasalahkan
terlalu jauh. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga sikap saling
menghormati dan menghargai antara sesama umat Islam.
Kita
harus mengakui bahwa tidak ada metode yang sempurna dan tidak ada otoritas
tunggal yang bisa menetapkan awal bulan Syawal secara mutlak. Kita harus
menghargai keberagaman pendapat dan pandangan dalam Islam, selama tidak
bertentangan dengan ajaran dasar agama.
Kita
juga harus menyadari bahwa Hari Raya Idul Fitri bukanlah sekadar hari libur
atau hari bersuka ria. Akan tetapi, Hari Raya Idul Fitri adalah hari untuk
merayakan ketaqwaan kita kepada Allah SWT setelah sebulan penuh berpuasa di
bulan Ramadhan.
Hari
Raya Idul Fitri adalah hari untuk memohon ampun kepada Allah SWT dan sesama
manusia atas segala kesalahan dan dosa yang kita perbuat. Hari Raya Idul Fitri
adalah hari untuk merangkai silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah antara sesama
umat Islam.
Oleh karena itu, kita tidak boleh membiarkan perbedaan
penetapan Hari Raya Idul Fitri menjadi sumber perpecahan dan pertengkaran. Bahkan
sebaliknya, hendaknya momentum ini kita jadikan sebagai sarana untuk saling
belajar dan mengenal lebih dalam tentang Islam dan motivasi untuk meningkatkan
kualitas ibadah, akhlak, dan kedewasaan kita.
Idul Fitri adalah Hari Suka Cita, bukan Hari Menegakkan
Egoisme.
Hari
Raya Idul Fitri merupakan salah satu hari raya terbesar bagi umat Islam di
seluruh dunia. Hari ini adalah hari yang penuh dengan suka cita, syukur, dan
maaf.
Hari yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, dan kasih sayang.
Namun, sayangnya, tidak semua orang bisa merasakan hal indah tersebut. Ada
sebagian orang yang justru menjadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai ajang untuk
menegakkan egoisme dan kesombongan.
Salah
satu contoh egoisme dan kesombongan yang sering terjadi di Hari Raya Idul Fitri terdapat pada perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya hari raya Idul Fitri jatuh.
Seperti
kita ketahui, di Indonesia ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan
awal bulan Syawal, yaitu hisab dan rukyat.
Kedua
metode ini seringkali menghasilkan perbedaan penetapan waktu Hari Raya Idul Fitri di
Indonesia.
Hal
ini menimbulkan perdebatan di antara umat Islam. Ada yang merasa paling benar
dan paling taat dengan metode yang mereka ikuti.
Ada
yang merasa paling superior dan paling mulia dengan metode yang mereka anut, merasa paling berhak dan paling berkuasa dengan metode yang mereka
gunakan.
Padahal,
seharusnya kita menyadari bahwa tidak ada metode yang sempurna dan tidak ada
otoritas tunggal yang bisa menetapkan awal bulan Syawal secara mutlak. Kita
harus menghormati keberagaman pendapat dan pandangan dalam Islam, selama tidak
bertentangan dengan ajaran dasar agama.
Kita
mestinya menghargai keputusan masing-masing kelompok untuk
mengikuti metode yang mereka yakini dan mengedepankan sikap toleransi serta saling
menghormati antara sesama umat Islam.
Perbedaan
penetapan Hari Raya Idul Fitri bukanlah hal yang harus dipermasalahkan terlalu
jauh. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan dengan sebaik-baiknya, bagaimana kita memohon
ampun kepada Allah SWT dan sesama manusia atas segala khilaf yang
kita perbuat, bagaimana kita meningkatkan silaturahmi
dan ukhuwah.
Hari
Raya Idul Fitri adalah hari suka cita, bukan hari menegakkan egoisme.
Hari Raya
Idul Fitri adalah hari syukur, bukan hari kesombongan. Hari Raya Idul Fitri
adalah hari maaf, bukan hari dendam. Hendaknya kita jadikan Hari Raya Idul Fitri sebagai
hari yang membawa kebaikan dan keberkahan bagi kita semua, sebagai hari yang menyatukan dan mempersatukan, sebagai hari yang mencerminkan akhlak
mulia Rasulullah SAW.
Rasulullah
SAW adalah teladan terbaik. Beliau adalah orang yang paling taat kepada Allah
SWT, paling kasih sayang kepada sesama makhluk, dan paling rendah hati di
antara manusia, paling menjaga persaudaraan dan perdamaian, orang yang paling menghormati perbedaan dan keberagaman di antara umat
manusia.
Kita
mestinya meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri ini, mestinya memperbanyak bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya
yang tak terhingga, memaafkan dan memohon maaf kepada sesama manusia atas
segala khilaf dan salah, berbagi kebahagiaan dengan
orang-orang yang membutuhkan dan kurang beruntung, bersuka cita dan bersahabat dengan semua orang tanpa membeda-bedakan
suku, ras, agama, atau golongan.
Dengan
demikian, kita akan merasakan makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri, merasakan
kebahagiaan dan kedamaian yang hakiki, merasakan kebersamaan dan keharmonisan
yang nyata, dan mencapai ketaqwaan yang kokoh.
Metode Rukyatul Hilal atau Metode Hisab, mana yang paling
mendekati Hadist Sahih dari Rasulullah SAW.?
Sebagaimana diketahui bersama bahwa untuk menentukan awal
bulan Syawal, ada beberapa metode yang digunakan oleh umat Islam, yaitu metode
rukyatul hilal dan metode hisab.
Metode
rukyatul hilal adalah metode yang mengandalkan pengamatan langsung bulan sabit
atau hilal di ufuk barat setelah matahari terbenam.
Metode
hisab adalah metode yang mengandalkan perhitungan matematis posisi bulan
berdasarkan data astronomis.
Kedua
metode ini seringkali berakibat pada perbedaan waktu pelaksanaan Hari Raya Idul
Fitri di berbagai negara dan wilayah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mana
metode yang paling mendekati hadist sahih dari Rasulullah SAW.?
Hadist
sahih adalah perkataan atau perbuatan Rasulillah SAW. yang telah dipastikan
kebenaran dan keasliannya oleh para ulama hadist.
Dalam
hal ini, kita harus kembali kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran
dan Hadist.
Al-Quran
adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Rasulillah SAW. melalui
malaikat Jibril.
Hadist
adalah segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulillah SAW, yang menjadi
contoh dan pedoman bagi umat Islam.
Dalam
Al-Quran, Allah SWT. berfirman:
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." Tetapi tidaklah
bermanfaat tanda-tanda (kekuasaan Allah) dan peringatan-peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman." (QS. Yunus: 101)
"Dan
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)
Dari
ayat-ayat di atas, kita dapat memahami bahwa Allah SWT. telah menciptakan
matahari dan bulan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya dan sebagai alat untuk
menghitung waktu. Allah SWT, juga telah menetapkan manzilah-manzilah atau
fase-fase bagi perjalanan bulan itu, termasuk hilal atau bulan sabit. Dalam Hadist,
Rasulullah SAW, bersabda:
"Berpuasalah
kamu apabila melihatnya (hilal) dan berbukalah apabila melihatnya (hilal), jika
ia tertutup (berawan) maka sempurnakanlah bilangan (hari) Sya'ban tiga puluh
hari." (HR. Bukhari dan Muslim) "Janganlah kamu berpuasa sebelum
datangnya bulan (Ramadan) dan janganlah kamu berbuka sebelum hilangnya bulan
(Syawal), jika terhalang awannya maka hitunglah tiga puluh hari." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari hadist di atas, kita dapat memahami bahwa Rasulullah
SAW telah menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal berdasarkan rukyatul hilal
atau pengamatan langsung bulan sabit.
Jika
hilal tidak terlihat karena cuaca berawan atau faktor lainnya, maka Rasulullah
SAW. menetapkan untuk menghitung tiga puluh hari dari bulan sebelumnya.
Berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah, kita dapat menyimpulkan bahwa metode rukyatul hilal adalah
metode yang paling mendekati hadist sahih dari Rasulullah SAW.
Metode
ini sesuai dengan perintah Allah SWT. untuk memperhatikan apa yang ada di
langit dan di bumi sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya. Metode ini juga sesuai
dengan sunnah Rasulullah SAW yang menetapkan awal bulan berdasarkan penglihatan
mata.
Namun,
hal ini tidak berarti bahwa metode hisab tidak memiliki dasar sama sekali.
Metode hisab juga didasarkan pada data astronomis yang merupakan hasil dari
pengamatan dan perhitungan ilmiah terhadap benda-benda langit.
Metode
hisab juga mencerminkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
oleh umat Islam, juga dapat membantu dalam mengatasi kesulitan atau
ketidakpastian dalam melakukan rukyatul hilal.
Oleh
karena itu, kita tidak boleh menolak atau menghina metode hisab secara mutlak. Bahkan
kita mestinya mengakui bahwa metode hisab juga memiliki kelebihannya sendiri, menghargai
usaha dan niat baik dari para ahli hisab yang berusaha untuk menentukan awal
bulan Syawal dengan cara yang mereka yakini.
Kita
tidak boleh memaksakan atau membanggakan metode rukyatul hilal secara mutlak,
dan mestinya menyadari bahwa metode rukyatul hilal juga memiliki kelebihan dan
kekurangan sendiri.
Kita
harus menghormati kesaksian dan keshahihan dari para ahli rukyat yang berusaha
untuk menentukan awal bulan Syawal dengan cara yang mereka yakini.
Kita
harus menjaga sikap saling menghormati dan menghargai antara sesama umat Islam
yang menggunakan metode rukyatul hilal atau metode hisab, menjaga persatuan dan
persaudaraan di antara umat Islam yang merayakan Hari Raya Idul Fitri pada hari
yang berbeda, menjaga toleransi dan saling menghormati di antara umat Islam
yang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda.
Semoga
Allah SWT menurunkan rahmat dan hidayah-Nya, dan menerima amal ibadah kita,
serta memberikan kita kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan
yang akan datang, juga menjadikan kita termasuk orang-orang yang berbahagia di
Hari Raya Idul Fitri ini.
Kesimpulan
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang menaati pemimpin
(pemerintah), maka ia telah menaati saya. Dan barangsiapa yang mendurhakai
pemimpin (pemerintah), maka ia telah mendurhakai saya (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim
no. 1840).
Hadits ini menegaskan bahwa umat Islam
harus taat kepada pemimpin atau pemerintah yang sah, selama tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Ketaatan kepada pemimpin atau pemerintah merupakan bagian
dari ketaatan kepada Rasulullah SAW.
Wallahu
A’lam Bisshowwab..